Selasa, 07 April 2015

intelegensi

INTELEGENSI

A.    Pengertian Intelegensi
Intelegensi berasal dari kata latin “intelligece” yang berarti mengorganisasikan, menghubungkan atau menyatukan satu dengan yang lain. (to organize, to relate, to bind together). (Prof. Dr. Bimo Wagito, 2004). Jadi intelegensi adalah kemampuan yang dibawa sejak lahir, yang memungkinkan seorang berbuat sesuatu dengan cara tertentu. (Abdul Rahman Shaleh, 2009). Istilah intelegensi kadang-kadang atau justru sering memberikan pengertian yang salah, yang memandang intelegensi sebagai kemampuan yang mengandung kemampuan tunggal. Padahal menurut para ahli intelegensi mengandung bermacam-macam kemampuan. Namun demikian intelegensi itu sendiri memberikan berbagai macam arti bagi para ahli.
Pengertian intelegensi menurut para ahli :
1.      Menurut William Stern, intelegensi adalah kesanggupa untuk menyesuaikan diri kepada kebutuhan baru, dengan menggunakan alat-alat berpikir yang sesuai dengan tujuannya
2.      Lewis Madison Terman, intelegensi sebagai kemampuan seseorang untuk berpikir secara abstrak

B.     Macam-macam Intelegensi
1.      Intelegensi praktis (practical intellegence)
Adalah nama lain untuk intelegensi motor – indera yang tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan motor – indera (usia 0 – 2 tahun) dan merupakan dasar dari semua intelegensi yang berkembang kemudian.
2.      Intelegensi pra operasional (preoperational intellegence)
Anak memasuki periode perkembangan praoperasi (usia 2 – 7 tahun). Ciri dari anak pada masa periode ini adalah :
a.       Cara berpikir anak bersifat egosentris (egocentric) yaitu berupa pandangan sempit dan  mengacu pada diri sendiri serta tidak mampu melihat masalah dari sudut pandang orang lain.
b.      Cara berpikir kompleksif (compexive thinking) Yaitu berpikir tidak dengan jalan menyatukan beberapa pemikiran ke dalam satu konsep yang berarti akan tetapi justru meloncat dari satu gagasan ke gagasan yang lain.
c.       Kecenderungan yang kuat dalam diri anak untuk menempatkan sifat-sifat manusia pada benda mati
d.      Ketidakmampuan anak untuk melakukan tugas-tugas yang menuntut pengarahan dan koordinasi pikiran, yang mana anak memerlukan petunjuk luar (external cues) yang langsung dapat membimbing dan memantapkan perilakunya untuk dapat melaksanakan tugas tertentu.

3.    Intelegensi operasional (operational intellegence)
            Di sekitar usia 5 – 7 tahun anak mulai memahami apa yang disebut sebagai operasi nyata (concrete operation). Pada tahap ini apa yang dihadapi anak terbatas pada karakteristik-karakteristik nyata yang terjadi dalam situasi-situasi nyata.
4.     Intelegensi operasional formal (formal operational intellegence)
Perkembangan intelegensi ini diawal pada masa awal remaja. Dalam penyelesaian masalah anak mampu menyisihkan berbagai penyebab kejadian. Di tahap ini anak mulai mampu menyelesaikan masalah. Hal itu merupakan suatu kemampuan yang sangat penting dalam mempelajari berbagai informasi yang harus diterimanya dari lingkungan.

C.    Teori-Teori Intelegensi
1.      Teori “uni-faktor”
Pada tahun 1911, Welhelm Stern memperkenalkan suatu teori tentang intelegensi yang disebut “uni-factors theory”. Menurut teori ini intelegensi merupakan kapasitas atau kemampuan umum. Oleh karena itu, cara keja intelegensi juga bersifat umum. Kapasitas umum yang ditimbulkan lazim dikemukakan dengan kode G (General Capacity).


2.      Teori “two-factors”
Pada tahun 1904 sebelum Stern, seorang ahli matematika bernama Charles Spearman mengajukan teori ini, yang dikenal dengan sebutan “two kinds of factors theory”. Spearman mengembangkan teori intelegensi berdasarkan suatu faktor mental umum yang diberi kode “G” serta faktor-faktor spesifik yang diberi tanda “S” untuk menentukan tindakan-tindakan mental untuk mengatasi permasalahan. Faktor G lebih tergantung kepada dasar, sedangkan faktor S itu dipengaruhi oleh pengalaman (lingkungan, pendidikan).
3.      Teori “multi-factors”
Teori ini dikembangkan oleh E.L Thorndike. Menurutnya teori ini tidak berhubungan dengan konsep faktor “G” yang mana bahwa intelegensi terdiri dari bentuk hubungan-hubungan neural antara stimulus dan respon hubungan neural khusus inilah yang mengarahkan tingkah laku individu. Intelegensi menurut teori ini jumlah koneksi aktual dan potensial di dalam sistem syaraf. Misal ketika seorang individu menghapus sajak itu berarti bahwa ia dapat melakukan itu karena terbentuknya koneksi-koneksi di dalam sistem syaraf akibat belajar atau latihan.
5.      Teori “sampling”
Godfrey H. Thomson pada tahun 1916 menyempurnakan teori ini dari berbagai kemampuan sampel. Dunia berisikan berbagai bidang pengalaman itu terkuasai oleh pikiran manusia tetapi tidak semuanya. Masing-masing bidang hanya dikuasai sebagian-sebagian saja. Ini mencerminkan kemampuan mental manusia. (Abdul Rahman Saleh, 2009)

Teori intelegensi menurut para ahli :
1.      Alfred Binet (1857 – 1911)
Salah satu ahli psikologi yang mengatakan bahwa intelegensi bersifat monogenetik, yaitu berkembang dari satu faktor satuan atau faktor umum (G). Menurut Binet, intelegensi merupakan sisi tunggal dari karakteristik yang terus berkembang sejalan dengan proses kematangan seseorang. Jadi untuk melihat apakah seseorang cukup intelegen / tidak, dapat diamati dengan cara dan kemampuannya untuk mengubah arah tindakannya itu apabila perlu. Inilah yang dimaksudkan dengan komponen arah, adaptasi dan kritik dalam definisi intelegensi.
2.      Jean Piaget
Teori ini ditekankan pada aspek perkembangan kognitif, tidak merupakan teori yang mengenai struktur intelegensi semata-mata. Piaget mendefinisikan intelegensi secara kuantitatif sebagaimana umumnya dicerminkan oleh banyaknya jawaban yang benar pada suatu tes akan tetapi ia menyimpulkan dalam prinsip teorinya bahwa daya pikir / kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif. (Ginsburg dan Opper, 1969; Lazerson, 1975). Oleh karena itu, masalah utama dan membahas intelegensi adalah masalah cara mengungkapkan berbagai metode berpikir yang digunakan oleh anak-anak dari berbagai tingkatan usia. (Balqiz Ekatri Azalea, 1996)

D.    Ciri-ciri Perbuatan Intelegensi
Suatu perbuatan dapat dianggap intelegen bila memenuhi beberapa syarat antara lain :
1.      Masalah yang dihadapi banyak sedikitnya merupakan masalah yang baru bagi yang bersangkutan
Misal : mengapa api jika ditutup dengan sehelai karung bisa padam? Ditanyakan kepada anak yang baru bersekolah menjawab dengan betul maka jawaban itu intelegen, tetapi jika pertanyaan itu dijawab oleh anak yang baru saja mendapat pelajaran ilmu alam tentang api, hak itu tidak dapat dikatakan intelegen.
2.      Perbuatan intelegen, sifatnya serasi tujuan dan ekonomis
Untuk mencapai tujuan yang hendak diselesaikannya, dicarinya jalan yang dapat menghemat waktu maupun tenaga.
Misal : saudara kehilangan pulpen di suatu lapangan, bagaimana mencarinya?
3.      Masalah yang dihadapi, harus mengandung suatu tingkat kesulitan bagi yang bersangkutan
Misal : ada suatu masalah, bagi orang dewasa mudah untuk memecahkannya, hampir tiada berpikir, sedang bagi anak-anak harus dijawab dengan otak, tetapi telat, jawaban anak itu intelegen.
4.      Keterangan pemecahannya harus dapat diterima oleh masyarakat
Misal : apa yang harus anda perbuat jika anda lapar? Kalau jawabnya : saya harus mencuri makanan. Tentu saja jawaban itu tidak intelegen.
5.      Dalam berbuat intelegen seringkali menggunakan daya mengabstraksi
Misal : apakah persamaan antara jendela dan daun? Jawaban yang benar memerlukan daya mengabstraksi.
6.      Perbuatan intelegen bercirikan kecepatan
Proses pemecahannya relatif cepat, sesuai dengan masalah yang dihadapi.
7.      Membutuhkan pemusatan perhatian dan menghindarkan perasaan yang mengganggu jalannya pemecahan masalah yang sedang dihadapi
            Apa yang akan saudara perbuat jika sekonyong-konyong saudara melihat orang yang tertabrak mobil dan pertolongan saudara sangat diperlukan?
(Drs. Ngalim Purwanto, MP. 1999)

E.     Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intelegensi
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi intelegensi, sehingga terdapat perbedaan intelegensi seseorang dengan yang lain, yaitu :
1.      Pembawaan : pembawaan ditentukan oleh sifat-sifat dan ciri-ciri yang dibawa sejak lahir.
2.      Kematangan : tiap organ (fisik maupun psikis) dapat dikatakan telah matang jika ia telah menacpai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing. Kematangan berhubungan erat dengan umur.
3.      Pembentukan : pembentukan adalah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan intelegensi.
4.      Minat dan pembawaan yang khas : minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Apa yang menarik minat seseorang mendorongnya untuk berbuat lebih giat dan lebih baik.
5.      Kebebasan : kebebasan berarti bahwa manusia itu dapat memilih metode-metode tertentu dalam memecahkan masalah-masalah. Dengan adanya kebebasan ini berarti bahwa minat itu tidak selamanya menjadi syarat dalam perbuatan intelegensi. (Drs. Ngalim Purwanto, MP., 1999)

G.    Pendekatan-Pendekatan Intelegensi
Dalam memahami intelegensi, Maloney dan Ward (1976, dalam Groth – Marnat, 1984) mengemukakan empat pendekatan umum. Di antaranya :
1.      Pendekatan teori belajar
Inti pendekatan teori belajar terletak pada pemahaman mengenai hukum-hukum dan prinsip umum yang dipergunakan oleh individu untuk memperoleh bentuk-bentuk perilaku baru. Dalam pendekatan ini para ahli lebih memusatkan perhatian pada perilaku yang tampak dan bukan pada pengertian mengenai konsep mental dari intelegensi itu sendiri.
Dalam pendekatan ini perlu ditekankan bahwa hampir semua ahli teori belajar, intelegensi bukanlah sifat kepribadian (trais) akan tetapi merupakan kualitas hasil belajar yang telah terjadi. Lingkungan belajar sendiri menentukan kualitas dan keluasan cadangan perilaku seseorang dan karenanya dianggap menentukan relativitas intelegensi individu.
2.      Pendekatan Neuro biologis
Beranggapan bahwa intelegensi memiliki dasar anatomis dan biologis perilaku intelegen. Menurut pendekatan ini, dapat ditelusuri dasar-dasar neuro-anatomis dan proses neuro-fisiologisnya. Oleh karena itu, dalam berbagai riset, selalu dipentingkan untuk melihat korelasi-korelasi intelegensi pada aspek-aspek anatomi, elektrokimia atau fisiologi.
3.      Pendekatan psikometris
Ciri utama dalam pendekatan ini adalah adanya anggapan bahwa intelegensi merupakan suatu konstrak (construct) atau sifat (trait) psikologis yang berbeda-beda keduanya bagi setiap orang.
Dalam pendekatan psikometris sendiri terdapat studi yaitu :
a.       Bersifat praktis dan lebih menekankan pada pemecahan masalah (problem solving)
b.      Lebih menekankan pada konsep dan penyusunan materi
            Pendekatan psikometri inilah yang melahirkan berbagai skala-skala pengukuran intelegensi yang menjadi awal skala intelegensi yang banyak dikenal sekarang.
4.      Pendekatan teori perkembangan
            Dalam pendekatan ini intelegensi dipusatkan pada masalah perkembangan intelegensi secara kualitatif dalam kaitannya dengan tahap-tahap perkembangan biologis individu. Sebagai contoh, Jean Piaget (Girsburg & Opper, 1989 dan Hergenhahn, 1982) mengawali konsepsi mengenai tes intelegensi. Tampak oleh Piaget bahwa terdapat pola respon tertentu yang ada kaitannya dengan tingkatan usia tertentu pula. Studi selanjutnya meyakinkannya bahwa memang terdapat perbedaan kualitatif dalam cara berpikir anak pada masing-masing kelompok usia. (Drs. Saifuddin Azwar, MA., 1996)



DAFTAR PUSTAKA

Azwar Saifuddin. 1996. Pengantar Psikologi; Intelegensi, Pustaka Pelajar Offset.
Purwanto, Ngalim. 1999. Psikologi Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya Offset.
Sholeh, Abdul Rahman. 2009. Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam. Jakarta : Kencana.
Suryabrata, Sumadi. 1998. Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Walgito, Bimo. 2004. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta : Andi Offset.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar