BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Masalah perkawinan di Minangkabau
merupakan kebijaksanaan yang wajib dilaksanakan oleh seluruh rakyat atau
masyarakat di Minangkabau.
Perkawinan
di Minangkabau pada hakikatnya sudah ada sejak zaman nenek moyang. Dengan
melangsungkan perkawinan, seseorang telah melaksanakan adat Minangkabau.
Pelaksanaan
perkawinan di Minangkabau memang sangat menganjurkan sesuai dengan anjuran
agama Islam. Jika sudah saatnya, seseorang sudah dianjurkan untuk menikah atau
melaksanakan perkawinan.
B. Tujuan
Dengan membuat
makalah ini diharapkan agar kita lebih memahami tentang perkawinan di
Minangkabau. Perkawinan di Minangkabau yang diselenggarakan ini berdasarkan atas
tanggung jawab seluruh masyarakat.
C. Manfaat
Adapun manfaat dari masalah
perkawinan di Minangkabau ini yaitu untuk mengetahui seluk beluk tatacara
perkawinan di Minangkabau.
Jadi,
manfaat perkawinan di Minangkabau penting bagi kelangsungan hidup manusia.
Perkawinan di Minangkabau dapat dilaksanakan dengan baik, maka kita sebagai
masyarakat Minangkabau sangat perlu menjaga dan tidak menyalahgunakan arti dari
perkawinan perkawinan tersebut karena berdampak buruk.
D. Rumusan
Masalah
Dalam rumusan masalah ini penulis
membahas masalah perkawinan di Minangkabau serta mengetahui seluk beluk
tatacara perkawinan di Minangkabau.
E. Pendekatan
Masalah yang penulis buat ini
sangat erat hubungannya dengan agama dan kebudayaan yang didasarkan pada
perkawinan dalam menjalani kehidupan berumah tangga.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sistem
Perkawinan Di Minangkabau
Adat Minangkabau melarang kawin
sesuku. Laki-laki dari suku Piliang harus memilih istri dari suku lain yang
bukan Piliang. Ia tidak di benarkan kawin dengan perempuan yang satu suku
dengannya. Jika ia menikahi perempuan yang sesuku dengannya, akan menjadi
ejekan di dalam nagari. Orang yang menikah sesuku disebut tamakan pokok
(termakan pokok). Perkawinan yang bukan sesuku itu disebut perkawinanluar suku
(perkawinan eksogami suku).
Masyarakat Minangkabau hidup
berkelompok. Kelompok itu ditandai dengan suku. Orang satu suku adalah orang
berdunsanak. Mereka berasal dari satu keluarga, dari satu Rumah Gadang.
Meskipun sudah berlainan sudah berlainan Rumah Gadang, namun mereka masih tetap
memiliki hubungan. Kadang-kadang sudah berlainan nagari pun masih dianggap
berdunsanak. Oleh sebab itu mereka tidak dibenarkan saling menikah.
Seorang laki-laki harus mencari
istri dari suku lain. Misalnya laki-laki dari suku Piliang, ia harus mencari
calon istri dari luar suku Piliang. Secara matrilineal tidak ada hubungan
kekeluargaan, tidak ada hubungan bertali darah. Mereka dibolehkan menikah
menurut adat Minangkabau.
Perkawinan dua orang yang berlainan
suku ini disebut perkawinan antara Rumah Gadang. Di Minangkabau ada
anggapan. Perkawinan salah seorang anggota keluarga secara lahir adalah
terbentuknya keluarga baru. Akan tetapi, secara batin menghubungkan dua
keluarga. Hakikat perkawinan memang antara individu dengan individu lain tetapi
pada sisi lain sudah terjalin hubungan antara keluarga dengan keluarga, antara
Rumah Gadang dengan Rumah Gadang. Hal ini berpengaruh
terhadap sistem kehidupan dan kekeluargaan di Minangkabau.
Seorang laki-laki dewasa di
Minangkabau memiliki dua fungsi. Pengertian laki-laki dewasa ialah laki-laki
yang telah beristri. Jika ia beristri dianggap sudah dewasa. Fungsinya itu
adalah sebagai mamak didalam suku (kaumnya) dan menjadi Bapak didalam keluarga
istrinya. Sebagai mamak ia berkewajiban membimbing kemenakannya, sebagai Bapak
ia berkewajiban memangku anak-anaknya.
Tanggung jawab laki-laki dewasa di
Minangkabau memang berat. Ia harus memangku anaknya dan membimbing
kemenakannya. Memangku anak dan membimbing kemenakan ada ruang-ruangnya,
ada batas-batas yang mengaturnya. Memangku anak dilakukan dengan hasil
pencarian di rumah istri. Membimbing kemenakan dilakukan dengan harta pusaka
didalam kaum atau suku. Selain itu orang kampung juga harus diperhatikan. Hal
lain penting memelihara aday supaya jangan rusak. Itulah sebabnya laki-laki
Minangkabau dianjurkan menikah dengan perempuan yang ada didalam nagarinya.
Perkawinan
eksogami suku adalah perkawinan dengan orang luar suku dan perkawinan endogami
nagari ialah perkawinan dengan orang didalam nagari.
B. Makna
dan Upacara Perkawinan
Perkawinan di Minangkabau
mengandung makna yang luas dan dalam. Makna yang luas terlihat pada
terbentuknya kekerabatan baru atau hubungan antar keluarga Rumah Gadang. Makna
yang dalam tergambar pada penerapan ajaran Islam dan ajaran adat Minangkabau.
Perkawinan di Minangkabau bukan hanya pertemuan antara dua individu yang
berlainan jenis, tetapi membina hubungan antara dua keluarga dan melaksanakan
ajaran Islam dan adat.
Perkawinan membentuk hubungan
baru antar keluarga. Dengan perkawinan tercipta kekerabatan baru. Kerabat
Sumando dan Sumandan, Ipa dan Bisan, Mintuo dan Minantu, Bako dan Anak Pisang,
terbentuk karena adanya perkawinan. Dengan demikian, perkawinan bukan hanya
membina hubungan antara individu, tetapi juga membina hubungan antara keluarga
dengan keluarga.
Perkawinan bermakna dalam karena
dalam karena melaksanakan suruhan agama Islam dan ajaran adat Minangkabau.
Islam sangat menganjurkan kalau sudah dianggap mampu, seseorang hendaklah
menikah. Pernikahan itu bertujuan untuk mencegah perbuatan yang bertentangan
dengan Islam. Jika sudah mampu dan dewasa, ternyata belum menikah dan imannya
kurang kuat, bisa terjadi perzinaan. Oleh karena itu islam menganjurkan
pernikahan jika sudah mampu.
Secara garis besar ada dua
upacara perkawinan. Upacara kedua berkaitan dengan ketentuan adat. Kedua
upacara itu dilakukan oleh orang Minangkabau dalam perkawinan. Jika sudah
dilakukan upacara menurut Islam, akan diiringi dengan upacara menurut adat.
Inti upacara menurut Islam ialah
akad nikah. Akad nikah dilaksanakan dihadapan petugas Angku kali. sedangkan
yang menikahkan adalah orang tua perempuan. Orang tua perempuan menikahkan
anaknya dengan laki-laki yang dipilihnya. Kemudian laki-laki akan menerima
nikah itu dengan memberikan mahar atau mas kawin. Selesai upacara pernikahan,
Angku kali akan membacakan khutbah pernikahan. Khutbah itu berisi nasehat untuk
kedua mempelai. Kemudian diakhiri dengan do’a.
C. Syarat
Perkawinan Menurut Adat
Pada hakekatnya, jika akad nikah
sudah ada, Islam telah mengesahkan perkawinan itu. Akan tetapi, menurut adat
masih ada syarat yang lain yang harus dipenuhi. Jika syarat menurut Islam tidak
terpenuhi, hukumannya adalah dosa. Akan tetapi, jika syarat menurut adat yang
tidak terpenuhi, hukumannya diterima dari masyarakat.Perkawinan di Minangkabau
mengharuskan laki-laki yang datang ke rumah perempuan. Suami datang ke rumah
istri setelah dijemput oleh keluarga istri.
Meskipun sudah selesai akad nikah
menurut agama Islam, laki-laki belum boleh pulang ke rumah istrinya. Ia baru
dibolehkan pulang apabila sudah dijemput secara adat oleh keluarga perempuan.
Jadi, syarat pertama menurut adat dalam perkawinan ialah laki-laki dijemput
secara adat oleh keluarga perempuan.
Setelah penganten laki-laki
dijemput oleh keluarga perempuan, orang kampung harus diberi tahu. Diumumkan
kepada orang bahwa telah menikah antara seorang laki-laki dengan perempuan.
Cara mengumumkan itu ialah dengan mengundang orang-orang yang patut-patut,
kerabat dekat, dan pemuka masyarakat dalam suatu kenduri. Kenduri itu dinamakan
baralek.
Besar kecilnya kenduri (alek)
sangat tergantung kepada kemampuan kedua keluarga. Jika yang menikah itu orang
yang mampu, aleknya akan besar. Banyak orang yang diundangnya. Akan tetapi,
kalau keluarganya kurang mampu, aleknya dilaksanakan alakadarnya. Sekedar
memenuhi adat dan sekedar pemberitahuan kepada masyarakat. Jadi, syarat kedua
perkawinan itu ialah memberitahukan kepada masyarakat tentang perkawinan dengan
upacara pesta (baralek).
Setelah laki-laki di jemput,
kenduri dilangsungkan di rumah mempelai (anak daro), sanak famili
dan kaum kerabat sudah diundang. Anak daro sudah diharuskan pula
mengunjungi rumah mertuanya (rumah orang tua laki-laki). Upacara itu dinamakan
Manjalang Mintuo (mengunjungi mertua). Jika mertua sudah dikunjungi, berarti
sudah selesai dan terpenuhi syarat yang ketiga. Dengan ketiga syarat itu,
secara adat perkawinan sudah sah. Masyarakat sudah dapat menerima kekerabatan
keluarga yang baru menikah itu.
D. Nilai
– Nilai Dalam Perkawinan
Ada sejumlah nilai yang
terkandung di dalam perkawinan. Nilai-nilai itu diantaranya ialah nilai agama
Islam, nilai adat, nilai moral dan nilai sosial. Dengan melaksanakan perkawinan
seseorang telah mengamalkan ajaran Agama Islam. Seperti diungkapkan terdahulu,
agama Islam menganjurkan setiap laki-laki atau perempuan, jika sudah cukup umur
dam mampu agar melaksanakan perkawinan. Hal itu dimaksudkan supaya laki-laki
dan perempuan jangan terjerumus keperbuatan zina yang bermuara kepada dosa.
Dengan melangsungkan permohonan,
seseorang telah melaksanakan adat Minangkabau. Adat memang sangat menganjurkan
sesuai dengan anjuran agama Islam. Jika sudah saatnya, seseorang sudah
dianjurkan untuk menikah atau melaksanakan perkawinan. Demikian pentingnya
perkawinan itu di Minangkabau, sehingga menjadi ketentuan dalam adat, yang adat
perkawinan.
Nilai moral yang terdapat dalam
perkawinan pada hakikatnya cukup banyak. Diantaranya, seseorang laki-laki
apabila sudah melaksanakan akad nikah, ia sudah menjadi manusia dewasa. Ia
diberi gelar oleh kaumnya. Di minangkabau, ukuran seorang dewasa atau belum
ditentukan oleh perkawinannya.Secara moral, laki-laki yang sudah menikah sudah
memiliki pangkalan yang tetap. Ia sudah memiliki rumah tempat makan. Jika ada
laki-laki bujangan yang tidur di rumah, masyarakat akan menertawakan dan
mengejeknya.
Bagi perempuan, jika sudah
menikah ia sudah mendapat predikat sebagai bundo kandung. Bundo kandung adalah
panggilan yang sangat terhormat bagi kaum perempuan di Minangkabau. Meskipun ia
belum melahirkan anak, namun sudah dapat disebut sebagai bundo kandung. Ia
sudah dimasukkan kedalam golongan perempuan dewasa. Dengan demikian ia sudah
dapat mejadi ibu rumah tangga. Perangai dan tingkah lakunya sudah benar-benar
mencerminkan perempuan dewasa di Minangkabau.
Nilai sosial dan kemasyarakatan
juga terdapat di dalam perkawinan. Seperti diungkapkan terdahulu, perkawinan
bukan pertemuan dua manusia yang berlainan jenis kelamin. Akan tetapi merupakan
pertemuan dua keluarga yakni, keluarga laki-laki dan keluarga perempuan.
Hubungan antara keluarga atau antara dua Rumah Gadang itu, membentuk suatu
masyarakat yang akrab. Antara keluarga laki-laki dengan perempuan terjalin
hubungan yang sangat akrab dan saling menghormati. Dengan demikian kekolektifan
masyarakat Minangkabau semakin luas.
Secara bermasyarakat, seseorang
apabila sudah menikah dianggap sudah duduk samo rendah, tagak samo tinggi,
dengan anggota masyarakat lainnya. Jika ia laki-laki, harkatnya dan tingkat
keberadaannya secara sosial meningkat. Jika selama ini ia dianggap sebagai
pemuda yang belum dewasa, maka setelah perkawinan ia menjadi orang dewasa.
Itulah nilai sosialnya.
Jadi, didalam perkawinan banyak
sekali nilai yang terkandung. Secara garis besar ada empat nilai didalamnya.
Yakni, nilai agama Islam, nilai adat Minangkabau, nilai moral, dan nilai sosial
kemasyarakatan.
E. Kekerabatan Akibat Perkawinan
Banyak keuntungan yang timbul
karena perkawinan. Salah satu diantaranya timbulnya kekerabatan baru. Sebutan
untuk kekerabatan setelah terjadi perkawinan antara lain adalah mintuo dan
minantu, mamak rumah dan sumando, sumandan, bako dan anak pisang. Semua sebutan
itu timbul karena perkawinan. Jika perkawinan itu tidak ada, sebutan itu tidak
akan ada.
Mintuo adalah panggilan terhadap
orang tua istri atau orang tua suami. Seseorang menyebut orang tua suaminya
atau orang tua istrinya sebagai mintuo. Sebaliknya, orang tua akan menyebut
istri atau suami anaknya sebagai minantu. Jadi, panggilan mintuo dan minantu
merupakan panggilan berpasangan.
Mamak rumah adalah panggilan dari
seorang suami kepada saudara laki-laki dan mamak istrinya. Sedangkan sumando
adalah panggilan saudara laki-laki atau mamak kepada suami adik perempuan atau
kemenakan perempuan. Jadi, mamak rumah dan sumando adalah adalah panggilan yang
berpasangan. Jika bapak dipanggil sumando di rumah istrinya, ibu jika berada di
rumah keluarga bapak akan dipanggil sumandan.
Bako dan anak pisang dua
panggilan kekerabatan yang juga berpasangan. Bako adalah panggilan anak kepada
keluarga bapaknya, sedangkan anak pisang adalah panggilan kepada anak saudara
laki-laki. Hubungan bako dan anak pisang ini akan sangat akrab jika hubungan
bapak dengan keluarganya juga akrab.
F. Bentuk Perkawinan Matrilineal
Bentuk perkawinan di Minangkabau
adalah bentuk perkawinan matrilineal. Bentuk perkawinan matrilineal, jika
sepasang lelaki dan perempuan melakukan perkawinan, masing-masing pihak tetap
menjadi suku kakumnya.
Suami tidak ikut suku istri, atau
istri tidak ikut suku suami. Dalam perkawinan, bentuk matrilineal ini hanya
anak yang lahir dari hasil perkawinan yang menjadi anggota kaum ibunya.
Perkawinan seperti matrilineal ini adalah perkawinan yang bersifat eksogami.
Perkawinan
yang bersifat eksogami ini meletakkan status istri pada status yang sama dengan
suaminya. Bentuk perkawinan yang berdasarkan pada sistem matrilineal
menyebabkan pihak istri tidak tergantung pada suaminya.
Menurut adat Minangkabau yang
berdasarkan pada sistem matrilineal, perkawinan merupakan persoalan dan urusan
kaum kerabat. Mulai dari mencari pasangan, membuat persetujuan, pertunangan dan
acara perkawinan. Oleh karena dalam adat Minangkabau, perkawinan bukan sekedar
usaha membentuk suatu keluarga oleh sepasang insan. Segala urusan di dalam adat
Minangkabau telahb menjadi urusan bersama.Pada hakikatnya, sebuah perkawinan
dalam bentuk matrilineal adalah demi kepentingan kaum pihak perempuan, untuk
melanjutkan garis keturunan berdasarkan garis keturunan ibu. Keadaan seperti
ini membuat seorang suami bukanlah pemegang kuasa atas anak dan istrinya.
Ø Syarat
Syah Perkawinan
Syarat
syahnya perkawinan di Minangkabau adalah harus memenuhi tata cara yang lazim.
Tata cara perkawinan di Minangkabau ada dua :
1. Menurut
syarak (Agama)
2. Menurut
adat.
Pernikahan
menurut syarak saja dianggap belum selesai oleh orang Minangkabau. Upacara
perhelatan perkawinan perlu dilaksanakan.
Perkawinan
menurut syarak saja menurut adat Minangkabau lazim disebut “Kawin Gantuang”.
Melakukan nikah gantuang biasanya disebabkan salah satu atau kedua orang yang
nikah tersebut belum cukup umur, atau yang laki-laki belum mendapatkan
pekerjaan, atau pihak perempuan belum sanggup menyelenggarakan upacara
perhelatan menurut adat.
G. Perkawinan
Luar Suku
Perkawinan yang ideal menurut
orang Minangkabau adalah perkawinan awak samo awak (sesama kita), atau disebut
juga perkawinan dalam nagari. Perkawinan awak samo awak maksudnya perkawinan
yang dilangsungkan antara lelaki suku Minangkabau dengan perempuan sesama suku
bangsa Minangkabau, atau sebaliknya.
Perkawinan yang dilangsungkan
dengan orang yang bukan bersuku bangsa Minangkabau disebut Perkawinan Luar
Suku.Perkawinan dengan orang diluar suku, terutama mengawini perempuan luar
tidak disukai oleh orang Minangkabau, namun tidak dilarang.
Perkawinan dengan perempuan dari
luar suku Minangkabau tidak disukai karena bisa merusak struktur adat. Akibat
dari perkawinan dengan wanita di luar suku Minangkabau, si anak tidak mempunyai
suku. Oleh karena orang di luar suku bangsa Minangkabau biasanya ikut suku
ayah, sedangkan di Minangkabau, seorang anak ikut suku ibunya.
H. Perkawinan
Dalam Suku
Seperti telah disinggung diatas,
perkawinan yang ideal menurut orang Minangkabau adalah perkawinan awak samo
awak (sesama kita), atau disebut juga perkawinan dalam nagari. Perkawinan awak
samo awak maksudnya perkawinan yang dilangsung antara lelaki suku Minangkabau
dengan perempuan sesama suku bangsa Minangkabau, atau sebaliknya.
Perkawinan yang paling ideal
ialah perkawinan antara keluarga terdekat, seperti perkawinan antara anak dan
kemenakan. Perkawinan ini sering disebut “pulang ka mamak” atau “pulang ka
bako”. Pulang ka mamak artinya mengawini anak mamak (anak dari saudara
perempuan ayah).Selanjutnya, perkawinan yang paling dianjurkan adalah kawin
sekorong, sekampung, se nagari, seluhak, dan akhirnya sesama suku bangsa
Minangkabau.
Ø Perkawinan
Terlarang
Perkawinan yang terlarang menurut
adat Minangkabau sering disebut “perkawinan pantang”, yaitu perkawinan yang
tidak dapat dilakukan. Jika ada yang melanggar akan dikenakan sanksi
hukuman.Pertama, larangan sesuai dengan syariat Islam seperti mengawini ibu,
ayah, saudara, anak, saudara seibu dan sebapak, saudara ibu dan bapak, saudara
kandung, istri atau suami dan anak saudara laki-laki ayah.
Kedua, perkawinan yang merusak sistem
adat, yaitu perkawinan orang yang setali darah menurut garis keturunan ibu
(stelsel matrilineal), sekaum, dan juga sesuku, meskipun tidak ada hubungan
kekerabatan dan tidak sekampung halaman.
·
Ketiga,
pandangan perkawinan untuk memelihara kerukunan sosial
- Mengawini
orang yang diceraikan kaum kerabat, sahabat dan tetangga dekat.
-
Mempermadukan perempuan yang sekerabat, sepergaulan dan setetangga.
- Mengawini
orang yang tengah dalam pertunangan.
- Mengawini
anak tiri saudara kandung.
·
Sanksi
hukuman bagi yang melanggarnya ditentukan oleh musyawarah kaumnya.
Macam-macam
hukuman :
1) Membubarkan
perkawinan itu.
2) Hukum
buang dengan diusir dari kampung atau dikucilkan dalam pergaulan.
3) Hukum
denda dengan cara meminta maaf kepada semua pihak pada suatu perjamuan dengan
memotong seekor atau dua ekor ternak.
I. Seni Dalam Perkawinan Minangkabau
Tradisi perhelatan pernikahan
menurut adat Minangkabau yang lazimnya melalui sejumlah prosesi, hingga kini
masih dijunjung tinggi untuk dilaksanakan, yang melibatkan keluarga besar
kedua calon mempelai,terutama dari keluarga pihak wanita.
Tata cara perkawinan di Sumatra
Barat sangat beragam antar luhak adat yang satu dengan luhak adat lainnya.
Bahkan antara nagari yang sama dalam satu luhak adat pun berbeda tata caranya.
Namun, seiring dengan waktu, terutama bagi warga Minang di rantau, urang-urang
awak sekarang sudah mau menerima tata cara dari nagari dan luhak adat Minang
lainnya, yang dianggap cukup baik dan menarik untuk dilaksanakan. Misalnya
untuk hiasan kepala pengantin wanita yang disebut suntiang balenggek. Awalnya
hanya digunakan oleh orang-orang di daerah Padang-Pariaman. Tetapi kini juga
dipakai oleh semua anak daro urang Minang. Demikian juga dengan malam bainai
dan tata cara menginjak kain putih, yang juga awalnya hanya digunakan di
beberapa daerah tertentu di Sumatra Barat. Bagaimana tradisi dan upacara
pernikahan adat Minang yang lazim dilakukan oleh masyarakat Minang di masa
kini? Berikut adalah tradisi dan upacara adat yang biasa dilakukan baik sebelum
maupun setelah acara pernikahan:
1.Maresek
Maresek merupakan penjajakan
pertama sebagai permulaan dari rangkaian tata-cara pelaksanaan pernikahan.
Sesuai dengan sistem kekerabatan di Minangkabau yaitu matrilineal, pihak
keluarga wanita mendatangi pihak keluarga pria. Lazimnya pihak keluarga yang datang
membawa buah tangan berupa kue atau buah-buahan. Pada awalnya beberapa wanita
yang berpengalaman diutus untuk mencari tahu apakah pemuda yang dituju berminat
untuk menikah dan cocok dengan si gadis. Prosesi bisa berlangsung beberapa kali
perundingan sampai tercapai sebuah kesepakatan dari kedua belah pihak keluarga.
2.
Maminang/Batimbang Tando (Bertukar Tanda)
Keluarga calon mempelai wanita
mendatangi keluarga calon mempelai pria untuk meminang. Bila pinangan diterima,
maka akan berlanjut ke proses bertukar tanda sebagai simbol pengikat perjanjian
dan tidak dapat diputuskan secara sepihak. Acara ini melibatkan orangtua, ninik
mamak dan para sesepuh dari kedua belah pihak. Rombongan keluarga calon
mempelai wanita datang membawa sirih pinang lengkap disusun dalam carano atau
kampia (tas yang terbuat dari daun pandan) yang disuguhkan untuk dicicipi
keluarga pihak pria. Selain itu juga membawa antaran kue-kue dan buah-buahan.
Menyuguhkan sirih di awal pertemuan mengandung makna dan harapan. Bila ada
kekurangan atau kejanggalan tidak akan menjadi gunjingan, serta hal-hal yang
manis dalam pertemuan akan melekat dan diingat selamanya. Kemudian dilanjutkan
dengan acara batimbang tando/batuka tando (bertukar tanda). Benda-benda yang
dipertukarkan biasanya benda-benda pusaka seperti keris, kain adat, atau benda
lain yang bernilai sejarah bagi keluarga. Selanjutnya berembuk soal tata cara
penjemputan calon mempelai pria.
3. Mahanta
Siriah/Minta Izin
Calon mempelai pria mengabarkan
dan mohon doa restu tentang rencana pernikahan kepada mamak-mamak-nya,
saudara-saudara ayahnya, kakak-kakaknya yang telah berkeluarga dan para sesepuh
yang dihormati. Hal yang sama dilakukan oleh calon mempelai wanita, diwakili
oleh kerabat wanita yang sudah berkeluarga dengan cara mengantar sirih. Calon
mempelai pria membawa selapah yang berisi daun nipah dan tembakau (sekarang
digantikan dengan rokok). Sementara bagi keluarga calon mempelai wanita, untuk
ritual ini mereka akan menyertakan sirih lengkap. Ritual ini ditujukan untuk
memberitahukan dan mohon doa untuk rencana pernikahannya. Biasanya keluarga
yang didatangi akan memberikan bantuan untuk ikut memikul beban dan biaya
pernikahan sesuai kemampuan.
4. Babako-Babaki
Pihak keluarga dari ayah calon
mempelai wanita (disebut bako) ingin memperlihatkan kasih sayangnya
dengan ikut memikul biaya sesuai kemampuan. Acara ini biasanya berlangsung
beberapa hari sebelum acara akad nikah. Mereka datang membawa berbagai macam
antaran. Perlengkapan yang disertakan biasanya berupa sirih lengkap (sebagai
kepala adat), nasi kuning singgang ayam (makanan adat), barang-barang yang
diperlukan calon mempelai wanita (seperangkat busana, perhiasan emas, lauk-pauk
baik yang sudah dimasak maupun yang masih mentah, kue-kue dan sebagainya).
Sesuai tradisi, calon mempelai wanita dijemput untuk dibawa ke rumah keluarga
ayahnya. Kemudian para tetua memberi nasihat. Keesokan harinya, calon mempelai
wanita diarak kembali ke rumahnya diiringi keluarga pihak ayah dengan membawa
berbagai macam barang bantuan tadi.
5. Malam Bainai
Bainai berarti melekatkan
tumbukan halus daun pacar merah atau daun inai ke kuku-kuku calon pengantin
wanita. Lazimnya berlangsung malam hari sebelum akad nikah. Tradisi ini sebagai
ungkapan kasih sayang dan doa restu dari para sesepuh keluarga mempelai wanita.
Perlengkapan lain yang digunakan antara lain air yang berisi keharuman tujuh
macam kembang, daun iani tumbuk, payung kuning, kain jajakan kuning, kain
simpai, dan kursi untuk calon mempelai. Calon mempelai wanita dengan baju tokah
dan bersunting rendah dibawa keluar dari kamar diapit kawan sebayanya. Acara
mandi-mandi secara simbolik dengan memercikkan air harum tujuh jenis kembang
oleh para sesepuh dan kedua orang tua. Selanjutnya, kuku-kuku calon mempelai
wanita diberi inai.
6. Manjapuik Marapulai
Ini adalah acara adat yang paling
penting dalam seluruh rangkaian acara perkawinan menurut adat Minangkabau.
Calon pengantin pria dijemput dan dibawa ke rumah calon pengantin wanita untuk
melangsungkan akad nikah. Prosesi ini juga dibarengi pemberian gelar pusaka
kepada calon mempelai pria sebagai tanda sudah dewasa. Lazimnya pihak keluarga
calon pengantin wanita harus membawa sirih lengkap dalam cerana yang menandakan
kehadiran mereka yang penuh tata krama (beradat), pakaian pengantin pria lengkap,
nasi kuning singgang ayam, lauk-pauk, kue-kue serta buah-buahan. Untuk daerah
pesisir Sumatra Barat biasanya juga menyertakan payung kuning, tombak, pedang
serta uang jemputan atau uang hilang. Rombongan utusan dari keluarga calon
mempelai wanita menjemput calon mempelai pria sambil membawa perlengkapan.
Setelah prosesi sambah-mayambah dan mengutarakan maksud kedatangan,
barang-barang diserahkan. Calon pengantin pria beserta rombongan diarak menuju
kediaman calon mempelai wanita.
7. Penyambutan Di
Rumah Anak Daro
Tradisi menyambut kedatangan
calon mempelai pria di rumah calon mempelai wanita lazimnya merupakan momen
meriah dan besar. Diiringi bunyi musik tradisional khas Minang yakni talempong
dan gandang tabuk, serta barisan Gelombang Adat timbal balik yang terdiri dari
pemuda-pemuda berpakaian silat, serta disambut para dara berpakaian adat yang
menyuguhkan sirih. Sirih dalam carano adat lengkap, payung kuning keemasan,
beras kuning, kain jajakan putih merupakan perlengkapan yang biasanya
digunakan. Keluarga mempelai wanita memayungi calon mempelai pria disambut
dengan tari Gelombang Adat Timbal Balik. Berikutnya, barisan dara menyambut
rombongan dengan persembahan sirih lengkap. Para sesepuh wanita menaburi calon
pengantin pria dengan beras kuning. Sebelum memasuki pintu rumah, kaki calon
mempelai pria diperciki air sebagai lambang mensucikan, lalu berjalan menapaki
kain putih menuju ke tempat berlangsungnya akad.
J. Tradisi usai akad nikah
Acara adat minang yang lazim
dilaksanakan setelah akad nikah, yaitu memulangkan tanda.mengumumkan gelar
pengentin pria,mengedu kening,mengeruk nasi kuning dan bermain coki.
1.Memulangkan tando
Setelah resmi sebagai suami istri,
maka tanda yang di berikan sebagai ikatan janji sewaktu lamaran di kembalikan
oleh kedua belah pihak.
2.Malewakan gala marapulai.
Mengumumkan gelar untuk pengantin
pria.Gelar ini sebagai tanda kehormatan dan kedewasaan yang disandang mempelai
pria. Lazimnya diumumkan langsung oleh ninik mamak kaumnya.
3. Balantuang
Kaniang atau Mengadu Kening
Pasangan mempelai dipimpin oleh
para sesepuh wanita menyentuhkan kening mereka satu sama lain. Kedua mempelai
didudukkan saling berhadapan dan wajah keduanya dipisahkan dengan sebuah kipas,
lalu kipas diturunkan secara perlahan. Setelah itu kening pengantin akan saling
bersentuhan.
4.MangaruakNasiKuniang
Prosesi ini mengisyaratkan hubungan kerjasama antara suami isri harus selalu saling menahan diri dan melengkapi. Ritual diawali dengan kedua pengantin berebut mengambil daging ayam yang tersembunyi didalam nasi kuning.
Prosesi ini mengisyaratkan hubungan kerjasama antara suami isri harus selalu saling menahan diri dan melengkapi. Ritual diawali dengan kedua pengantin berebut mengambil daging ayam yang tersembunyi didalam nasi kuning.
5.Bamain Coki
Coki adalah permaian tradisional Ranah Minang. Yakni semacam permainan catur yang dilakukan oleh dua orang, papan permainan menyerupai halma. Permainan ini bermakna agar kedua mempelai bisa saling meluluhkan kekakuan dan egonya masing-masing agar tercipta kemesraan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
uraian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa tatacara perkawinan di
Minangkabau sudah ditentukan oleh adat. Mulai dari tata cara perkawinan sampai
dengan larangan-larangannya. Banyak hal yang harus diketahui agar kita tidak
melanggar aturan yang telah dibuat dan dipatuhi secara turun temurun dari nenek
moyang kita.
B. Saran
Dengan
adanya makalah ini diharapkan pembaca dapat :
1) Mengerti
dengan tata cara perkawinan di Minangkabau.
2) Mengetahui
larangan-larangan tentang perkawinan di Minangkabau.
3) Diharapkan
pembaca menjalani adat dengan wajar tanpa dengan adanya merobah atau
menghilangkan tata cara hidup terutama mengenai Perkawinan menurut adat di Minangkaba
DAFTAR PUSTAKA
Esten,
Mursal, Prof, Dr. 1993. Minangkabau Tradisi dan Perubahan. Padang :
Angkasa Raya.
Rasjid
Manggis. M. Rajo Penghulu, Dt. 1971 Minangkabau Sejarah Ringkas dan
Adatnya. Padang : Sridharma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar