TES PROYEKTIF
Latar
Belakang Tes Proyeksi
Dalam tulisan pertamanya, Dr. Leopold Bellak melacak sejarah perkembangan
konsep proyeksi yang sekarang ini sudah melebar dan longgar digunakan. Atas
dasra pengujian secara eksperimental maupun deskripsi klinis yang dikemukakan
oleh Freud mengenai proyeksi, Bellakmenyatakan perlunya menetapkan dan mengkaji
kembali proses-proses perceptual yang terlibat di dalam metode proyektif.
Bellak mengemukakan konsep atau istilah apersepsi dan distorsi aperseptif dan
teori belajar Gesalt tentunya memerlukan eksperimen dan eksplorasi lebih jauh.
Formulasi yang dilakukan oleh Bellak ini menolong dalam memecahakan
beberapa problem yang dihadapi pari klinisi yang menggunakan metode-metode
proyektif. Terbentuklah suatu jembatan yang menghubungkan psikologi nonalitik
dengan psikologi analiyik yang selama ini dipisahkan.
Perkembangan
psikologi proyektif banyak didasarkan sebagai protes terhadap teori atau aliran
lama yang kebanyakan bersifat structuralism, behaviorism, yang kebanyakan
memandang individu bukan suatu whole tetapi sebagai suatu kumpulan dari
berbagai aspek.
Aspek psikologis manusia yang tidak disadari
sulit diungkap dalam kondisi wajar (sukar diungkap melalui self report,
inventory). Jadi dalam pendekatan proyektif diperlukan instrument khusus
yang dapat mengungkap aspek-aspek ketidaksadaran manusia --- teknik proyektif
ini kemungkinan subjek mau merespon, walaupun teknik proyektif mempunyai arti
interpretatif Teknik ini pendekatannya menyeluruh (global approach).
Ada beberapa
alasan mengapa kepribadian testi tidak diungkap atau ditanyakan secara langsung
kepada testi, seperti pada personality inventories:
- Tidak
semua orang dapat mengkomunikasikan dengan jelas ide-ide dan sikap-sikap
yang ada dalam kesadarannya.
- Umumnya
lebih mudah menghindari mengatakan hal-hal tersebut walaupun tidak dengan
maksud menyembunyikannya atau menipu.
- Banyak
hal yang tidak disadari oleh seseorang, yang tentu saja ia tidak mampu
untuk mengemukakannya.
Sejarah Tes Proyektif
Tes ini berawal dari lingkungan klinis dan tetap merupakan alat yang
penting bagi ahli klinis. Sejumlah metode berkembang dari prosedur terapeutis
yang digunakan pada pasien psikiatris. Dalam kerangka teoritis, kebanyakan
teknik proyektif mencerminkan pengaruh konsep psikoanalitik yang tradisional
dan modern. Ada berbagai upaya yang terpisah yang meletakkan dasar bagi teknik
proyektif dalam teori stimulus respon dan dalam teori perceptual tentang
kepribadian. Asumsi dasarnya adalah apabila subjek atau individu dihadapkan pada
hal-hal yang ambiguitas maka subjek akan memproyeksikan personalitinya melalui
jawaban-jawaban terhadap stimulus itu. Syarat-syarat untuk proyeksi antara lain
diperlukan screen dan layar. Screen adalah sebuah alat tes untuk memproyeksikan gambar dan
stimulus.
Tes proyeksi adalah pengungkapan
aspek psiklogis manusia dengan menggunakan alat proyeksi. Tes ini berdasar pada
eksternalisasi aspek-aspek psikis terutama aspek-aspek ketidaksadaran ke dalam
suatu stimulasi/rangsang yang kurang atau tidak berstruktur yang sifatnya
ambigious agar dapat memancing berbagai alternatif jawaban tanpa dibatasi oleh
apapun.
Pelopor tes proyeksi adalah Freud
(1984) dengan teori psikodinamikanya, dan kemudian dikembangkan oleh Herman
Rorschach (1921) dengan tes Rorschach dan Murray (1935) dengan tes TAT
(Thematic Apperception Test) untuk mengungkap aspek-aspek kepribadian manusia.
Tes proyeksi memberikan stimuli yang
artinya tidak segera jelas; yaitu beberapa hal yang berarti dia mendorong
pasien untuk memproyeksikan kebutuhannya sendiri kedalam situasi tes. Tes
proyeksi kemungkinan tidak mempunyai jawaban benar atau salah, orang yang diuji
harus memberikan arti terhadap stimulus sesuai dengan kebutuhan dalamnya,
kemampuan dan pertahanannya.
Oleh karena tes proyektif menuntut kesimpulan
yang luas atau kualitatif (tend to subjective). Kecenderungan untuk
subjektif ini dapat diatasi dengan pengetahuan, pengalaman yang besar terhadap
tes. Validitas dan reliabilitas tes rendah, karena dalam memberikan kesimpulan
sangat luas.
Pengertian proyeksi tidaklah dapat didefinisikan secara pasti.
Munculnya konsep-konsep yang ingin menerangkan pengertian proyeksi diwarnai
dengan problem-problem mengenai konsep proyeksi itu sendiri. Proyeksi adalah
suatu istilah yang sekarang digunakan dalam
psikologi klinis, psikologi dinamik dan psikologi sosial.
Psikologi proyeksi merupakan dasar dari berbagai macam bentuk proteksi
termasuk tes-tes proyektif yang bersifat verbal maupun non verbal. Istilah
proyeksi pertama kali dikemukakan oleh Sigmund Freud pada awal-awal tahun 1894
dalam tulisannya “The Anxiety Neurosis” yang mengatakan bahwa “Jiwa manusia
memiliki potensi untuk mengembangkan kecemasan yang neurotis disaat dirinya
merasa tidak mampu mengatasi rangsangan atau gairah-gairah seksual. Hal itu
diartikan bahwa jiwa bertindak seolah-olah
telah memproyeksikan gairah-gairah ini ke dalam dunia luar.
Pada tahun 1896 dalam tulisan “On The Defense Neuropsychosis” Freud
menyampaikan elaborasi lebih jauh mengenai konsep proyeksi. Secara eksplisit
Freud mengatakan bahwa proyeksi merupakan proses pelampiasan keluar
dorongan-dorongan, perasaan-perasaan dan sentimen-sentimen yang ada pada diri
individu ke orang lain atau dunia luar sebagai proses yang sifatnya defensif
dan individu tidak menyadari fenomena yang terjadi pada dirinya.
Freud memberi contoh elaborasi tersebut melalui kasus Schreber (penderita
paranoid yang memiliki kecenderungan
homoseksual). Karena ada tekanan dari super ego yang tidak memperbolah kan pria
mencintai sejenisnya terjadi reaksi formasi dalam membentuk menransfer suatu
sikap “I Love him” menjadi “I hate him” (proyeksi benci yang sebenarnya cinta).
“I hate him” masih ada kelanjutannya menjadi “He hates him”.
Konsep proyeksi Freud ini serupa dengan konsep kompensasi dari Alder
(prissip inferioritas dan kompensasi). Sejak lahir manusia memiliki kelemahan,
namun manusia tidak putus asa dengan cara melakukan kompensasi untuk menutupi
kelemahan-kelemahannya. Bentuk kompensasi Alder ini sama dengan proyeksi.
Healy,
Bronner, dan Brouer menyatakan bahwa proyeksi merupakan proses defensive
dibawah kekuasan prinsip kenikmatan. Ego akan selalu melampiaskan
dorongan-dorongan dan keinginan-keinginan yang tidak disadari ke dunia.
Pada dasarnya memang tidak banyak ahli yang memberikan pengertian atau
definisi mengenai proyeksi. Oleh karena itu pengertiannya pun menjadi terbatas.
Freud sebagai ahli pertama yang memberikan pengertian konsep proyeksi lebih
memfokuskan dibidang klinis karena sesuai dengan asal usulnya freud memang
banyak menemukan gejala perilaku proyeksi dari kasus-kasus klinis yaitu psikosa
dan neurosa. Pada akhirnya konsep proyeksi menjadi paling banyak dipakai
dibidang klinis.
Pengertian Tes Proyektif
Tes proyektif adalah alat yang
memungkinkan untuk mengungkap motif, nilai, keadaan emosi, need yang sukar diungkap dalam situasi wajar dengan cara individu
memproyeksikan pribadinya melalui objek diluar individu.
Dalam tes proyeksi, bila subjek
dihadapkan pada materi atau stimulus yang sifatnya ambiguous, kemudian subjek
diminta untuk memberi respon terhadap stimulus tersebut, subjek akan memberi
respon dengan cara memproyeksikan dorongan-dorongan yang ada pada dirinya dalam
perbuatan yang biasanya melalui koreksi/kerjasama dengan tuntutan-tuntutan yang
bersifat eksternal. Menurut Murray, reaksi individu terhadap stimulus ambiguous
tersebut merupakan kerjasama atau interaksi antara need dan press yang disebut thema.
Tes proyeksi dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu;
1.
Verbal : Baik materi, komunikasi antara
testi dengan tester dan respon subjek berwujud verbal (lisan, maupun tulisan).
Sejarah timbulnya tes proyektif verbal
Berawal dari teknik free association dari Freud dan kemudian
dikembangkan oleh:
· Galton (1829) dalam bentuk word technique. Tujuannya untuk
mengungkap ketidaksadaran (konflik, ketegangan, frustasi), juga mengukur
aktivitas sosial dan minat individu. Awalnya tes ini digunakan untuk mengatahui
eksplorasi dan proses berpikir seseorang, menggunakan 75 kata yang masing-masing
ditulis dalam satu kartu penyajiannya. Subjek disodorkan masing-masing kartu
dan menjawab atau merespon apa yang pertana kali muncul dalam pikirannya.
Jawaban boleh lebih dari satu. Hal yang perlu diperhatikan adalah ekspresi
subjek, dan bagaimana cara menjawabnya.
· Wundt tetap menggunakan 75 kata, hanya saja dalam menjawab
subjek hanya dibatasi satu jawaban. Tujuannya untuk lebih sempurna dalam
mengungkap ketidaksadaran subjek. Hal yang perlu diperhatikan adalah ekspresi
subjek waktu menjawab dan waktu reaksi. Mengamati waktu reaksi berguna bagi
tester untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya hambatan-hambatan dari
subjek.
· Rappaport menggunakan 60 kata yang
didasarkan pada teori teori psikoanalisa. Tujuannya untuk menggungkap konflik-konflik
psikoseksual, kelemahan-kelamahan dalam proses berpikir yang dihubungkan dengan
konflik-konflik internal. Hal yang perlu diperhatikan adalah waktu reaksi dan
contentnya (apakah populer atau original)
· Kent & Risanoff menggunakan 100 kata yang sifatnya umum
dan netral, didasarkan pada teori-teori psikoanalisa. Tujuannya untuk
mengungkap gangguan emosi. Jawaban subjek dicocokkan dengan standar yang ada.
Bila diluar standar subjek di perkirakan memiliki hambatan emosi.
· J.M. Sacks Sidzney Levy menciptakan
tes proyektif yang dikenal dengan nama SSCT (Sack Sentence Completion Test) tes
ini terdiri 60 item (kalimat) yang belum selesai dan subjek diminta untuk
melengkapi atau menyelesaikan dengan mengemukakkan apa yang akan pertama kali muncul.
SSCT banyak dipergunakan dalam bimbingan dan penyuluhan atau
terapi, dan secara umum mengungkap 4 hal yaitu:
1. Sikap individu terhadap keluarga
2. Sikap individu terhadap seks
3. Sikap individu terhadap hubungan
interpersonal
4. Sikap individu terhadap konsep
diri
2. Non verbal: Wujud materi bukan dalam bentuk bahasa. Faktor bahasa hanya
berperan untuk komunikasi antara testi dan tester.
Prinsip Dasar Tes Proyeksi
1. Stimulusnya bersifat tidak berstruktur yang memungkinkan
subjek mempunyai alternatif pilihan yang banyak.
2. Stimulusnya bersifat ambiguous yang memungkinkan subjek
merespon stimulus atau materi tes sesuai dengan interpretasi masing-masing.
3. Stimulusnya bersifat kurang mempunyai objektivitas relatif.
Sifat ini memudahkan untuk mendapatkan individual difference karena
masing-masing subjek memiliki kesimpulan yang berbeda-beda dalam mengamati
stimulus yang dihadapkan padanya.
4. Global Approach yang artinya menuntut kesimpulan
yang luas.
Sifat-sifat tersebut di atas,
(terutama ciri pertama dan kedua) memungkinkan individu memproyeksikan need,
emosi, motif, dan isi ketidaksadaran lainnya. Disamping ciri-ciri di atas ada
ciri-ciri lain dari tekhnik proyektif yang mungkin hanya dimiliki oleh beberapa
tes proyektif saja contohnya TAT. Ciri-ciri tersebut adalah :
1. Polivalensi.
Mempunyai banyak kemungkinan.
Kartu-kartu dalam TAT terdiri dari berbagai kemungkinan atau situasi;
a. Figur jelas-latar belakang kabur
b. Latar belakang kabur-figur jelas
c. Figur jelas-latar belakang jelas
d. Figur kabur-latar belakang kabur
2.
Polisemi yaitu salah satu jelas salah satu
kabur. Maksudnya, bisa figurnya yang jelas namun latar belakangnya kabur atau
sebaliknya. Dalam merespon subjek harus mengidentifikasi/membuat kepastian pada
stimulus/materi yang dibuat kabur.
3.
Monosemi yaitu baik figure maupun latar belakang kedua-duanya
relative jelas. Hal ini memungkinkan untuk didapatkannya respon yang relatif
sama dari para subjek.
4.
Asemi yaitu
baik figure maupun latar belakang kedua-duanya kabur. Stimulus/materi demikian
diyakini lebih mampu mengungkap ketidaksadaran.
Perbedaan
tes proyeksi dan tes nonproyeksi
Berdasarkan
aspek mental dan psikologis yang di ungkap, secara garis besar, tes psikologi
dibagi menjaadi dua jenis yaitu, integensi dan kepribadian, dalam tes
kepribadian, di kenal dua jenis tes yaitu, tes proyeksi dan tes non proyeksi.
- Tes Proyeksi
Tes proyeksi adalah tes yang disusun atas dasar
penggunaan mekanisme proyeksi. Penugasan terhadap perilaku tes (testee) adalah
proyeksi yang bersifat tak berstruktur yang memungkinkan aneka ragam jawaban
sehingga kehidupan awal seseorang bias bergerak sebebas mungkin
Yang melatarbelakngi teknik ini adalah teori psikoanalisis freud. Pendekatan
psikoanalisis yakin bahwa hal yang terpenting dalam aspek kepribadian adalah
hal justru hal yang tidak disadarai dan sulit di buka melalui self report.
Menurut lindzey, proyeksi memiliki 2 pengertian:
a. Classic projection (freud)
Proyeksi dilihat sebagai suatu mekanisme pertahanan (defence mechanism) dan
merupakan suatu kondisi patologis.
b.
Generalized projection, yaitu suatu proses yang
normal yang terjadi pada manusia.
2. Tes Non Proyeksi.
Tes non proyeksi adalah tes kepribadian yang disusun
dengan tidak mempertimbangkan adanya proyeksi. Beberapa jenis tes non proyeksi adalah
Tes Kepribadian (ARES)
1.
Tes L &
TW (Leadership dan Team Work
2.
Tes Wiggly
Block
3.
Tes Kraeplin
4.
EPPS ( edward Personal Preference Schedule)
5.
MMPI (Minessota Multiphasic Personality
Inventory)
6.
16 PF
CAQ (Clinical Analysis Questioners)
Teknik-teknik
Penyajian Tes Proyeksi
- Stimulus tidak berstruktur ---
Stimulus yang diberikan (tes) tidak terstruktur seperti tes
intelegensi.
- Proses proyeksi ---
pengungkapan keadaan psikologi klien dengan memproyeksikannya dalam bentuk
reaksi terhadap tes yang disajikan.
- Administrasi longgar ---
Administrasi tes proyeksi biasanya tidak ada aturan baku, tergantung
dengan kebutuhan klien dengan catatan tidak mempengaruhi hasil tes.
- Testee oriented --- tes ini
berorientasi pada testee
- Unsur subjektifitas dalam
interpretasi --- Dalam menginterpretasikan tes ini, unsure subjektivitas
psikolog sangat berpengaruh.
- Menyentuh bawah sadar --- tes
proyeksi membantu mengungkapkan keadaan bawah sadar manusia.
Fungsi Tes
Proyeksi
Tes proyeksi
berfungsi untuk mengungkap keadaan psikologi bawah sadar manusia yang selama
ini di repres kealam bawah sadar. Melalui tes proyeksi ini diharapkan dinamika
psikologis itu dapat dikeluarkan melalui alat bantu tes-tes proyeksi. Sebagai
sebuah tes, tes proyeksi mempunyai kelebihan dan kekurangan jika dibandingkan dengan
tes-tes psikologi yang lain.
Klasifikasi Tes Proyektif
1. Menurut L.K. Frank
Kalsifikasi dari L.K. Frank
merupakan klasifikasi yang paling banyak diterima dasar pengkalsifikasiannya
adalah sifat respon subjek. Klasifikasi tersebut adalah:
a.
Teknik konstitutif (menyusun)
Subjek
diberikan materi yang belum berstruktur, kemudian subjek diminta untuk memberi
struktur.
Contoh
: Test Wartegg, Test Rorschach, Test Finger Printing
b.
Teknik konstruktif (membentuk)
Subjek
diberikan materi yang belum berbentuk, kemudian diminta untuk membentuk
Bedanya
dengan teknik konstitutif,teknik konstruktif materinya lebih mentah dan lebih
“free expression” bagi subjek.
Contoh
: Mozaic Test,sub test Block design (dalam WAIS) , sub tes merakit objek (dalam
WAIS) .
c. Teknik interpretative
(menginterpretasi)
Subjek
diberikan materi kemudian diminta untuk menginterpretasi.
Contoh
: TAT, CAT,Word Association Test (misalnya SSCT).
d.
Teknik katartik
Tujuan
/ fungsi dari teknik ini adalah pada saat subjek merespon akan terjadi
pengurangan hambatan-hambatan psikis.
Contoh
: Play Technique( dengan bermain,psikodrama),Lowenfeld Mozaic.
e.
Teknik refraktif/ ekspresif
(tambahan dari SYMOND)
Subjek
diberikan materi / stimulus, kemudian subjek diminta mengekspresikan need,
sentiment, dan lain-lain yang ada padanya.
Contoh
: Test Grafis,Grafologi,Tes Bender Gestalt,Myokenetic,Diagnosis.
2.
Menurut Lindzey
Dasar pengkalsifikasian Lindzey
adalah tipe jawaban subjek. kalsifikasinya terbagi menjadi :
a.
Teknik Asosiasi
Subjek
diberikan materi kemudian subjek diminta untuk merespon dengan cara
mengeluarkan/ menyampaikan apa yang pertama kali muncul dalam pikirannya atas
stimulus tersebut.
Contoh
: Test Rorschach, SSCT.
b. Teknik konstruksi
Subjek
diminta untuk menyusun materi yang belum berbentuk menjadi suatu cerita/gambar.
Fokusnya adalah pada hasil subjek.
Contoh
: TAT,CAT,sub test mengatur gambar (dalam WAIS).
c.
Teknik melengkapi
Subjek
diberi materi yg belum lengkap kemudian diminta untuk melengkapi.
Contoh
: SSCT
d. Teknik mengatur
Subjek
diberi materi/soal yang ada alternative jawaban kemudian diminta untuk memilih
jawaban yang sesuai dengan dirinya/ membuat urutan atas dasar pilihan jawaban
yang ada.
Contoh
: Study Of value,survey interpersonal value,test-test untuk mengukur tingkat
kebutuhan berprestasi, test-test mengukur kreatifitas.
e.
Teknik ekspresfif
Hampir
mirip dengan teknik konstruksi, hanya saja materi yang harus dibentuk sifatnya
lebih mentah. Fokusnya adalah pada cara subjek menyelesaikan materi. Contoh :
Finger Printing Test,Project terapy,Achievment Motivation Training(AMT).
Evaluasi Teknik Proyektif
Kelebihan
- Dapat mengungkap hal-hal di bawah sadar untuk
keperluan klinis
- Dapat menurunkan ketegangan
- Bersifat ekonomis
- Rapport dan keleluasaan penggunaan
Kekurangan
- Validitas dan reliabilitasnya rendah
- Tester harus memiliki keterampilan yang khusus
untuk dapat menggunakan tes ini dalam kaitannya dengan ketepatan melakukan
diagnose.
- Interpretasinya
bisa subyektif
- Butuh license
untuk menginterpretasinya (psikolog)
- Interpretasinya
susah, administrasinya juga lumayan karena harus observasi dan denger
klien juga.
- Ujiian ini hanya
diadministrasi oleh seorang psikolog yang berpengalaman dalam menggunakan
alat itu dan ahli dalam menafsirkannya
- Dari ujian ini
pada objek yang sama dapat disimpulkan berbeda oleh pengamat yang berbeda.
Pada
beberapa hal teknik proyektif mempunyai kelebihan dan kekurangan, antara
lain (anastasi, 1982).
- Rapport
dan Keleluasaan Penggunaan. Sebagian besar teknik proyektif dapat
berfungsi sebagai ice breaker selama terjalinnya hubungan antara terter
dan testi. Tugas-tugasnya menarik dan tidak membosankan, bahkan seringkali
bersifat menghibur.
- Teknik
proyektif non verbal dapat digunakan untuk anak-anak, mereka yang buta
huruf, dan orang-orang dengan gangguan bicara. Media non verbal ini sangat
membantu testi dalam berkomunikasi dengan tester.
2.
Faking
Pada umunya
teknik proyektif dapat terhindar dari kecenderungan terjadinya faking,
dibandingkan dengan self report. Tujuan dari teknik proyektif seringkali kabur
dan sulit ditebak, bahkan teknik prroyektif yang sudah sangat dikenal seperti
Rorshcach dan TAT. Testi lebih memikirkan respon apa yang akan dibuat, daripada
menebak tujuan dari tes itu sendiri.
Meskipun demikian bukan berarti
bahwa teknik proyektif bebas sepenuhnya dari faking. Dari penelitian yang
dilakukan oleh, Davids dan Pildner (anastasi, 1982) menunjukkan bahwa subjek
yang mengerjakan tes untuk tujuan melamar pekerjaan menunjukkan hasil yang
lebih akurat dibandingkan dengan subjek yang mengerjakan tes untuk penelitian.
3.
Variable Tester dan Situasi
Sudah
dijelaskan bahwa sebagian besar teknik proyektif lemah dalam standardisasi baik
administrasi maupun skoringnya. Oleh karena itu untuk hasil yang akurat factor
tester dan situasi tes menjadi sangat penting. Kadang-kadang sikap dan perilaku
tester dikesankan oleh testi sebagai menggurui, mendikte, atau mengarahkan pada
respon tertentu. Hal ini akan mempengaruhi produktifitas respon, defens,
imajinasi dari klien. Tidak adanya pedoman skoring yang baku menyebabkan
subjektifitas tester mempengaruhi hasil. Dengan kata lain interpretasi dari
teknik proyektif dapat terjebak dalam orientasi teoriti, hipotesis yang
menyenangkan, dan kepribadian idiosinkrasi dari tester, ketimbang dinamika
kepribadian tester.
4.
Norma
Kelemahan dari teknik proyektif
adalah data normative. Sejumlah data mungkin sangat kurang, tidak adekuat, atau
meragukan. Hal ini juga akan berpengaruh
pada objektifitas interpertasi. Kebanyakan para klinisi akan menggunakan pengalaman
klinisnya dalam interpretasi, sehingga hasilnya menjadi bias.
5. Reliabilitas
Sebuah teknik, seperti halnya teknik
proyektif, yang dianggap mempunyai prosedur skoring yangrelatif kurang
terstandar, realibilitas skorer atau penilai menjadi sangat penting. Pada
teknik proyektif, realibilitas skorer tidak sekedar memberikan skoring yang
objektif, tetapi juga merupakan tahap memberikan integrasi dan interpretasi
secara lengkap.beberapa skorer memberikan penilaian p[ada seorang tester, untuk
kemudian dilihat konsistensi hasil skoringnya. Semakin konsistens hasilnya,
menunjukan relibilitas yang tinggi; sebaliknya konsistensi yang rendah,
menunjukan realibilitas yang rendah pula.
6.
Validitas
Studi
tentang validitas teknik proyektif yang banyak dilakukan adalah concurrent
criterion-related validity. Dengan cara membandingkan performansi dari
kelompok-kelompok kontras, seperti kelompok okupasional dengan kelompok
diagnostic, dengan menggunakan alat ukur lain yang mengungkap hal yang sama.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Karmiyati,
diah & Cahyaning Suryaningrum. Pengantar psikologi proyektif .
Bandung : UMM Press.
·
Markam, S.S. Pengantar
Psikodiagnostik. Jakarta : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan
Pendidikan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
·
Anastasi, A & Urbina, S (2007). Tes
Psikologi, Edisi Ketujuh (Terjemahan). Jakarta: PT Indeks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar